SITU GEDE
1
Purnama bersinar, menerangi alam Sumedang yang tengah lelap tertidur, negeri yang makmur, gemah ripah loh jinawi, kini seolah beristirahat menikmati hasil kerjanya selama sehari penuh, diantara kesunyian malam dan sinar purnama, masih terdengar kentungan dipukul orang, menandakan tidak semua warga terlelap, namun masih ada yang terjaga menjaga lingkungannya.
Namun di halaman belakang komplek istana kerajaan Sumedang, masih terdengar sesuatu yang agak asing ditelinga, lengkingan suara yang agak tertahan namun mantap mengandung tenaga, disertai desingan sesuatu yang membelah udaha, terdengar jelas dimalam yang telah larut itu, cahaya remang obor bambu, melengkapi sinar purnama yang menyinari seorang pemuda tegap tengah memperagakan ilmu kanuragan dengan gesit, cepat mantap dan bertenaga, itulah Prabu Adilaya, Raja Muda Sumedang yang tengah menempuh ujuan terakhir dari ilmu kanuragan yang dipelajarinya, sebagai seorang raja, tentu saja harus memiliki berbagai ilmu untuk menjaga diri dan menjaga masyarakatnya, disamping ilmu kenegaraan, harus pula dipelajari ilmu lain termasuk ilmu kanuragan dan bela diri.
Di bawah pohon yang agak rindang, duduk seorang pria tua berjanggut panjang, mengenakan pakaian serba hitam kepalanya yang berambut putih diikat dengan ikat kepala hitam, kakek ini dengan cermat memperhatikan Sang Prabu yang tengah berlatih, kadang-kadang kepalanya mangut-mangut, atau senyum kepuasan tersungging di bibirnya yang keriput.
“Cukup Raden!” tiba-tiba si Kakek berseru
Prabu Adilaya berhenti, kemudian berbalik menghadap gurunya dengan gerakan menyembah,
“Terimakasih, Eyang Guru”
“Sekarang duduklah, Raden”
Prabu Adilaya, duduk bersila, kedua tanganya berada di atas pangkuannya
“Tenang, Raden”
Kakek yang dipanggil Eyang guru, melugas pedang yang berkilau mengkilap diterpa cahaya bulan, tiba-tiba pedang itu menebas punggung Sang Prabu, terdengar suara sesuatu yang patah dan terlempar, Eyang Guru berdiri tegak, memperhatikan pedang yang ternyata sudah patah terpotong dua, ada senyum puas tersungging dari bibir keriput Eyang Guru, kemudian, dengan langkah ringan menghampiri muridnya yang duduk bersila, tangannya terjulur kedepan, seraya berkata dengan mengulum senyum “ Lulus Raden”
Ketika ayam berkokok dan matahari menyeruak embun pagi, Guru dan murid tengah bercengkrama, di serambi samping istana, disuguhi makanan dan minuman hangat,
“ Raden, semua ilmu yang kumiliki, sudah kuajarkan semua kepadamu, dan Raden sudah menyerapnya dengan baik, namun bagi seorang Raja, kiranya ilmu yang kuajarkan belum cukup, harus disertai dengan ilmu bathin terutama ilmu agama” kata Eyang Guru sambil menatap muridnya”
“Saya pun merasakannya, Eyang, ilmu kanuragan yang Eyang ajarkan masih perlu ditambah dengan ilmu agama, sehingga, dalam menjalankan roda pemerintahan, saya memiliki dasar yang kuat dan dapat bertindak bijaksana”
Prabu Adilaya, menjawab dengan penuh harap,
“Kemana lagi saya harus berguru, Eyang?
Sang Prabu yang muda dan haus ilmu tampak sangat berkeinginan untuk belajar lebih banyak.
“Pergilah ke Mataram, bergurulah kepada KYAI SYEH JIWA RAGA, disana Raden akan mendapatkan ilmu-ilmu bathin dan ilmu agama”
“Terimakasih Eyang guru”
Sang prabu mencium tangan gurunya, orang tua yang sudah berambut putih ini merapatkan kedua tangannya di dada, seraya menghaturkan sembah, dia berkata
“Saya mohon pamit, Raden”
“Silahkan, terimakasih, Eyang”
“Sampurasun”
“Rampes”.
**
Siang itu Prabu Adilaya menjalankan tugasnya sehar-hari sebagai seorang Raja, disaat tertentu selalu terngiang perkataan gurunya, bahwa ilmu yang kini dimilikinya belumlah cukup untuk seorang Raja, namun harus ditambah dengan ilmu bathin terutama ilmu agama, harus ke Mataram untuk mencarinya, seketika sang prabu merasakan kekosongan, ternyata benar kata pepatah, batang padi semakin berisi semakin merunduk, semakin banyak ilmu seseorang, semakin merasakan kekurangan, semakin haus akan ilmu, namun keinginan untuk menuntut ilmu berarti harus meninggalkan Sumedang dan berbulan-bulan di Mataram, sementara tampuk pemerintahan saat ini sang Prabu-lah yang bertanggung jawab. Tetapi kebingunan itu tidak lama, Prabu Adilaya teringat, bahwa selalu ada orang yang mampu memberi jalan keluar dari semua persoalan yaitu ibunya. Sang prabu pun turun dari singgasananya dan berjalan keluar keprabon, melewati taman sari, tibalah ke kaputren tempat ibunya tinggal.
“Saya haturkan sembah, Kang Jeng Ibu”
“Silahkan Raden, Pangeranku, wajahmu tampak murung, utarakanlah pada Ibu, Raden”
Prabu Adilaya manarik nafas dalam-dalam, begitu bijaksana Ibunya sehingga dapat melihat kemurungan diwajah anaknya.
Dengan lemah lembut Prabu Adilaya menyampaikan maksudnya untuk berguru ke Mataram sebagai bekal untuk dapat memerintah secara adil dan bijaksana, disampaikannya pula bahwa menuntut ilmu agama dan ilmu lainya akan memakan waktu berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun sementara kerabuan di Sumedang harus ditinggalkan, tanpa diduga, Sang Ibu terseyum mendengar keluhan putranya,
“Bagi seorang raja, sangatlah perlu memiliki ilmu agama dan ilmu lainnya, ibu bersyukur kepada Yang Maha Kuasa dan bangga ternyata Kangjeng Rama tidak salah pilih menobatkan, sebagai Raja, sudah ada sifat kearifan seorang raja dalam dirimu, keinginanmu untuk menuntut ilmu, merupakan keinginan yang luhur, pergilah anaku, tugasmu sehari-hari akan dilaksanakan oleh adikmu”
Wajah Prabu Adilaya kembali berseri-seri seolah medapat kejatuhan bintang dari langit, sejenak ibunya melanjutkan :
“Bawalah serta istrimu dan pelayanmu yang setia”
Prabu Adilaya pun mohon pamit untuk melakukan persiapan keberangkatannya.
II
Seolah berlomba dengan ayam berkokok, Prabu Adilaya didampingi istrinya Nyai Raden Dewi Kondang Hapa dan sepasang pelayannya Sagolong dan Silihwati berangkat dari tanah Sumedang kearah timur menyongsong matahari pagi, melalui padang terjal berbukit, mengarungi kelebatan hutan, menuruni lembah dan mendaki bukit, banyak malam harus dilewatkan dengan tidur beralas daun kering berkelambu birunya langit, akhirnya sampai jugalah ke Mataram ke tempat dimana Kyai Jiwa Raga bermukim.
Kyai dengan wajah cerah menyambutnya, memberikan tempat yang terbaik bagi sang Prabu dan kedua pelayannya, ketika menyampaikan maksudnya untuk berguru, Kyai dengan senang hati menerimanya sebagai muridnya.
Keinginan sang Prabu yang sangat kuat untuk mempelajari Ilmu Agama menyebabkan dia cepat menyerap ilmu yang diajarkan, banyak kitab kuning yang dapat dihapal dalam waktu singkat, banyak pula kitab-kitab lainnya yang masih harus dibacanya dengan tekun dan ulet, kesungguhannya dalam belajar dan kemampuannya yang luar biasa tidak luput dari perhatian Kyai yang mengajarnya yang selalu terkagum-kagum dengan semangat belajar yang sangat tinggi.
Tak terasa sudah empat purnama berlalu Prabu Adilaya tak sempat banyak berpikir dan berbuat lain, waktu sesaat pun dimanfaatkan untuk menyerap pelajaran yang diberikan oleh Kyai Jiwa Raga, gurunya. banyak hal keduniawian terlupakan termasuk istrinya yang selalu mendampinginya sejak dari Sumedang.
Suatu saat, Kyai Jiwa Raga berbicara kepada muridnya:
“Raden, apa yang saya miliki, sudah saya ajarkan kepadamu, namun mempelajari islam tidak cukup dari satu sumber, Raden harus berguru kepada yang lain”
Prabu Adilaya menganguk-ngangguk seraya berkata :
“Setiap saat saya menemukan persoalan yang harus dipecahkan dengan bantuan ajaran Islam, ijinkan saya untuk menambah ilmu yang Kyai berikan, dan mohon petunjuk harus kepada siapa saya berguru ?.
“Pergilah ke tatar Sukapura, banyak Kyai yang berilmu luhung disana, tetapi sebelum pergi, sudikah Raden membawa putri saya Dewi Cahya Karembong dalam perjalanan Raden” Kyai Jiwa Raga menatap muridnya dengan penuh harap.
“Dengan senang hati Kyai”
“Seandainya Raden berkenan, jadikanlah putri saya sebagai istri raden yang kedua”
Prabu Adilaya agak kaget mendengar perkataan gurunya, sebagai murid dia harus patuh kepada Guru, namun dia sudah beristri dan sampai saat ini terlupakan karena terlalu tekun dalam mempelajari Agama Islam, tetapi ketaatan kepada gurunya, menyebabkan Prabu Adilaya tidak kuasa menolak tawaran itu,
“Baiklah, Kyai, saya akan menjadikan Dewi Cahya Karembong sebagai istri kedua”
“Terimakasih Raden”
Tidak berselang lama, dilakukanlah upacara akad nikah antara Prabu Adilaya dengan Dewi Cahya Karembong, putri Kyai Jiwa raga yang cantik jelita, upacara sederhana yang dihadiri oleh seluruh murid Kyai Jiwa Raga, sekaligus menandai bahwa Prabu Adilaya merupakan murid Kyai Jiwa Raga yang paling pandai, yang dinikahkan dengan putri Kyai, tradisi ini bertahan sampai sekarang, santri yang paling pandai dari sebuah pesantren akan dinikahkan dengan putri ajengan (Kyai).
Keinginan untuk belajar Ilmu Agama Islam Prabu Adilaya tetap membara, sang prabu berpamitan kepada Kyai, untuk melakukan perjalanan ke Tatar Sukapura mencari Guru yang dapat mengajarkan Agama islam lebih dalam dan lebih banyak, Kyai pun memanjatkan do’a untuk keberangkatan menantu dan putrinya yang disertai Raden Dewi Kondang Hapa istri pertama Prabu Adilaya
III
Perjalanan dari Mataram menuju Tatar Sukapura bukanlah perjalanan dekat, hampir sama dengan perjalanan dari tatar Sumedang ke Mataram, kali ini perjalanan lebih menggembirakan karena anggota rombongan bertambah menjadi enam orang dengan hadirnya Dewi Cahya Karembong, sepanjang perjalanan Prabu Adilaya dengan kedua istrinya selalu kelihatan ceria, untuk membuang kejenuhan sepanjang perjalanan Prabu Adilaya selalu bercerita yang disarikannya dari ceritera sempalan Tarich Islam, tentang kebijakan Rosululloh dalam menyebarkan Agama islam, kesederhanaan Rosul, keberaniannya dalam menegakkan agama Islam terutama kebesaran jiwa Rosul dalam menghadapi musuhnya yang belum beragama Islam, apabila malam menjelang mereka beristirahat melepas lelah, tetapi Prabu Adilaya selalu membaca ulang kitab-kitabnya yang diberikan oleh Kyai Jiwa Raga, sampai kedua istrinya tertidur pulas, sang Prabu masih membaca kitabnya dengan teliti, barulah ketika ayam berkokok satu kali, setelah sembahyang tahajud, sang Prabu merebahkan tubuhnya diantara kedua istrinya, ketiganya tertidur berkelambu langit cerah berbintang.
Banyak malam telah dilewati, perjalanan pun semakin jauh, Prabu Adilaya tetap dengan kebiasaannya menekuni kitab-kitab ajaran islam sampai larut malam, kebiasaan suami istri terlupakan begitu saja karena bagi Prabu Adilaya membaca kitab jauh lebih mengasikan, sampai suatu saat, ketika memasuki tatar Galuh, Dewi Cahya Karembong merasakan sesuatu yang hilang dari perannya sebagai seorang istri, ada perasaan mungkin dirinya kurang menarik perhatian suaminya, dibanding Dewi Kondang Hapa istri pertama Prabu Adilaya, perasaan itu mengundang tanda tanya besar dalam diri Dewi Cahya Karembong, sampai suatu saat takala Prabu Adilaya sedang berwudhu dan tidak ada di tengah-tengah kedua istrinya, Dewi Cahya Karembong bertanya kepada Dewi kondang Hapa:
“ Maaf Aceuk*, sejak saya dinikahkan sampai saat ini saya belum pernah melakukan kewajiban saya sebagai seorang istri, kadang-kadang saya merasa disia-siakan dan diabaikan, apakah Aceuk merasakan hal yang sama atau kalau sama Aceuk biasa-biasa saja?”
Dewi Kondang Hapa merenung sejenak, pelan sekali dia menjawab:
“Aceuk pun merasakan hal yang sama, bahkan kalau itu suatu penderitaan, penderitaan Aceuk lebih lama dari yang Nyai rasakan, karena Aceuk menikah sudah hampir setahun ini, tapi belum diperlakukan sebagai istri”
“Sungguhkan ?” Dewi Cahya Karembong terperanjat mendengarnya
“Benar Nyai, sejak menikah Aceuk belum merasakannya” kata Dewi Kondang Hapa datar, seolah kepada dirinya sendiri
“Apakah mungkin kakang Prabu memiliki kelainan……………?”
“Tidak, Nyai, Kakang Prabu seorang laki-laki sejati” Dewi Kondang Hapa menjawab dengan tegas.
Obrolan kedua istri itu terhenti saat Prabu Adilaya menghampirinya, tetapi dalam bahasan yang sama mereka mengobrol pada saat-saat senggang, tetapi semakin lama, semakin mereka rasakan ada ketimpangan dalam kehidupan perkawinan mereka, mereka merasakan kehampaan dan kesepian, padahal suami yang mereka cintai tidur berdampingan tiap malam, mereka juga merasakan jarak yang makin lebar, padahal setiap saat hampir tidak pernah jauh terpisah. Ketika melihat burung berkasihan dalam perjalanan yang mereka lewati merekapun merasakan lebih hina dari seekor burung.
Suatu saat, ketika ada waktu senggang yang cukup panjang, Dewi Kondang Hapa bertanya :
“Aceuk, Kakang Prabu hendak mencari guru baru?”
“Betul, kalau Kakang Prabu bermaksud untuk berguru lagi, berarti kita semakin tersia-siakan”
“Seandainya Kakang Prabu punya Guru baru dan menjadi murid paling pandai, tentu akan dinikahkan dengan putri gurunya lagi” berkata Dewi Cahya Karembong sambil memandang kebiruan langit, seolah hanya untuk didengar oleh dirinya sendiri.
“Mungkin penderitaan kita akan semakin panjang, disamping menunggu kakang Prabu selesai berguru, juga akan ada istri baru”
Dialog kedua istri yang dilanda sepi berlangsung semakin hangat dan panas, secara bertahap munculnya niat yang kurang baik, entah siapa yang memulai, dari niat itu dikembangkan menjadi sebuah rencana, tanpa disadari Dewi Kondang Hapa menbuka buntelan berisi sebuah keris pusaka yang diwariskan dari orang tuanya, demikian pula Dewi Cahya Karembong melakukan hal yang sama.
Malam harinya pada saat Prabu Adilaya mulai merebahkan diri ditengah kedua istrinya dirasakan sangat berat matanya, sebagaimana biasa sebelum tidur, dipanjatkan doa kepada Allah SWT untuk memohon ampunan dan karuania Nya, Sang Prabu memejamkan mata sambil menyungging senyum, beberapa saat kemudian, kedua istrinya terbangun, diambilnya pusaka masing-masing, dihunusnya pusaka itu dan diangkat dengan kedua tangan diatas dada Prabu Adilaya yang tengah tertidur pulas, pada saat yang hampir bersamaan, dengan keras dihujamkan pusaka itu ke dada Prabu Adilaya, tidak ada jeritan atau lenguh kesakitan, hanya terdengar sebutan asma Allah, bersamaan dengan itu, Prabu Adilaya menghembuskan nafasnya yang penghabisan, darah merahpun memancar dari dada Prabu Adilaya membasahi pakaian dan sedikit demi sedikit membasahi tanah dimana tubuh sang Prabu terbujur, tanah sekitar tubuh itu berubah warna menjadi merah, demikian pula air tanah yang keluar sekitar tubuh sang Prabu warnanya kemerahan, sejak saat itu tempat dimana sang prabu dibunuh dinamakan CIBEUREUM ( beureum = merah)
Burung-burung malam seolah berhenti berkicau, langit cerah mendadak mendung, pucuk-pucuk pohon seolah turut bersedih dengan dihilangkannya nyawa seorang pangeran yang sedang menuntut ilmu dibidang keagamaan, tinggalah dua istri yang kebingungan disertai rasa penyesalan yang mendalam,mereka duduk termenung, sementara kedua pelayannya yang setia Sagolong dan Silihwati masih pulas tertidur, dengan bisik-bisik kedua istri itu berembuk untuk mengubur jenazah di tempat yang jauh dan tersembunyi agar tidak ditemukan utusan dari Sumedang.
Akhirnya diputuskan untuk menggotong jenazah yang dimasukan kedalam kain sarung dan digotong dengan sepotong kayu, mereka berangkat kearah barat, sementara kedua pelayannya mengawasi dari kejauhan dengan terheran-heran tanpa bisa bertanya, ketika sampai di tanah datar yang luas., mereka bermaksud untuk mengubur jenazah disana, namun setelah dipikirkan lagi, ternyata ditempat itu akan mudah ditemukan, maka perjalanan pun dilanjutkan menelusuri anak sungai kearah hulu , disuatu tempat kayu yang digunakan untuk menggotong mayat Prabu Adilaya patah, Dewi Cahya Karembong mengambil sebatang kayu pendek dan berusaha menyambung kayu penggotong, tempat bekas menyambung kayu tersebut sampai saat ini dinamakan SAMBONG, perjalanan pun dilanjutkan beberapa kali kayu penggotong patah dan disambung sampai pada suatu saat kedua istri itu merasa bingung karena kayu penggotong ternyata selalu patah sekalipun sudah diganti akhirnya Dewi Kondang hapa mencoba mengganti penggotong yang baru dan melumuri kayu tersebut dengan tanah ternyata kayu tersebut tidak lagi patah, tempat bekas melumuri penggotong dengan tanah tersebut dinamakan MANGKUBUMI (= mengangkat tanah)
Karena belum menemukan tempat yang tepat untuk mengubur jenazah, kedua istri Prabu Adilaya berbelok ke utara, mendaki bukit-bukit kecil akhirnya sampai ke daerah rawa-rawa, dari kejauhan terlihat ada tanah yang tidak digenangi air, mereka menuju kesana, ditempat itu Dewi Cahya Karembong memerintahjkan kedua pelayannya untuk menggali lubang, pada saat kedua pelayan itu menggali, Dewi Kondang Hapa berbisik kepada Dewi Cahya Karembong, bahwa seandainya kedua pelayan itu dibiarkan hidup tentu akan melaporkan kepada Raja Sumedang bahwa Prabu Adilaya dibunuh kedua istrinya, kedua istri sepakat bahwa kedua pelayan itu juga harus dihabisi untuk menjaga rahasiah mereka, maka sebelum lubang kubur selesai digali, kedua pelayan itu, Sagolong dan Silihwati dibunuh, dan mayatnya dikuburkan bersama-sama dengan jenazah Prabu Adilaya.
Sebelum matahari tepat diatas kepala penguburan ketiga jenazah itu telah selesai, mereka meninggalkan makam tanpa nisan itu, ada rasa penyesalan tak terkira pada diri mereka, Dewi Kondang Hapa berkata :
“Seandainya Aceuk kembali ke Sumedang tentu Aceuk akan dihukum, atau setidaknya banyak orang bertanya kemana Prabu Adilaya, kiranya akan lebih baik kalau Aceuk tinggal di daerah ini biar dapat menjaga makam Kakang Prabu”
“Baiklah, Nyai akan pulang ke Mataram, namun apabila ada sebuah padepokan atau pasantren, Nyai akan singgah dan berguru, semoga Allah SWT menerima tobat kita” menjawab Dewi Cahya Karembong dengan linangan air mata.
Kedua bekas istri Prabu Adilaya berpelukan, mereka memilih jalan masing-masing, Dewi Cahya Karembong memilih suatu tempat di Gunung Goong dan meninggal di sana.
IV
Semenjak di tinggalkan oleh Prabu Adilaya Dayeuh Sumedang seolah merasakan sesuatu yang hilang, raja yang bijaksana itu sementara pergi meninggalkan Sumedang untuk berguru, namun banyak purnama telah berlalu dan tahun pun berganti, tidak ada kabar berita, Ibu Suri kerajaan Sumnedang tentu saja merasa cemas dan gelisah, akhirnya diputuskan untuk mengutus putra keduanya untuk menyusulnya ke Mataram.
Singkat cerita, sampailah di mataram, tetapi ternyata yang disusul sudah pergi kea rah Tatar Sukapura, Adik Prabu Adilaya menyusul kearah sana, tetapi karena tidak adanya keterangan mengenai kakaknya, tempat disemayamkan Prabu Adilaya terlewat, karena tempatnya memang agak tersebunyi, sang adik malah sampai kesuatu daerah di pinggir sungai yang ramai oleh orang berlalu lalang, ternyata disana ada sebuah saembara, siapa yang dapat mengalahkan seekor singa dengan tangan kosong akan dinikahkan kepada putri penguasa daerah yang cantik, banyak pemuda ikut serta tetapi tidak mampu mengalahkan singa tersebut, Pangeran Sumedang itu merasa tertarik, akhirnya dia turun ke gelanggang dan bisa mengalahkan singa tersebut sampai luka parah, sampai saat ini tempat itu dinamakan SINGAPARNA (=singa yang luka parah)
Pangeran Sumedang itu mendapatkan putri cantik dan diserahi sebuah daerah untuk dibuka, di daerah itu dibangun sebuah kota yang mirip dengan ibu kota kerajaan dan menamakan daerah itu dengan nama MANGUNREJA. Berbagai kesibukan pangeran Sumedang itu menyebabkan niatnya untuk pulang terlupakan, sehingga Ibunya di Sumedang tetap mengharap kabar baik yang disusul ataupun yang menyusul juga belum kembali, akhirnya diputuskan untuk berangkat sendiri menelusuri jejak Prabu Adilaya.
Sesampainya di Mataram ternyata mengecewakan, Prabu Adilaya bersama istri dan kedua pengawalnya sudah berangkat ke tatar Pasundan, tanpa berpikir panjang Sang Ibu berangkat ke Tatar Pasundan, sepanjang perjalanan apabila melewati malam beliau selalu memohon kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa untuk memperoleh petunjuk dimana kedua anaknya berada, bila siang perjalananpun dilanjutkan, meleati tanah berpasir dan berbukit, akhirnya sampai ke daerah yang berawa-rawa, dari pinggir rawa, sang Ibu melihat sebuah cahaya, akhirnya perjalanan dilanjutkan dengan menyebrangi rawa dan sampai ke sebuah nusa.
Ternyata cahaya tadi bersumber dari gundukan tanah merah, seolah petunjuk bahwa ada sasuatu di sana, Sang Ibu menengadahkan tangan memohon petunjuk Yang Maha Kuasa, dan diperoleh petunjuk bahwa disanalah dikuburkan prabu Adilaya dan kedua pelayannya Sagolong dan Silihwati.
Tangispun tak tertahankan, airmata berurai deras menetes ke tengah gundukan tanah merah, putra sulungnya, pewaris tahta kerajaan Sumedang terkubur di sana. Doa pun dipanjatkan untuk melindungi makam putranya, maka air rawa itu bertambah naik beberapa meter dan makam Prabu Adilaya berada di pulau sebuah danau yang luas, ada bisikan kepada sang Ibu untuk menancapkan tongkat yang selama ini dibawanya, setelah tongkatnya ditancapkan ke tanah, seketika berubah menjadi pohon-pohonan rimbun yang meneduhi makam putranya.
Pada saat akan pulang dan menyebrangi rawa yang sudah berubah menjadi danau, ada empat ekor ikan, sang Ibu menamakan ikan itu dengan nama si Gendam, si Kohkol, si genjreng dan si Layung, dengan tugas untuk menjaga makam dari tangan-tangan jahil yang mengganggunya.
Ketika bermaksud untuk pulang. Sang Ibu bertemu dengan dua orang penduduk setempat, beliau berpesan :
“ mugi aranjeun kersa titip anak kuring di pendem di eta nusa, jenengannana sembah dalem Prabu Adilaya, wangku ka prabonan di sumedang mugi kersa maliara anjeuna dinamian juru kunci ( kuncen ) jeung kami mere beja saha anu hoyong padu beres, nyekar ka anak kami oge anu palay naek pangkat atawa hayang boga gawe kadinya, agungna Allah cukang lantaranana sugan ti dinya.”
Semoga kalian bersedia untuk dititipi anak saya yang dimakamkan di pulau itu, namanya Sembah Dalem Prabu Adilaya, yang memegang tampu ke prabuan di Sumedang semoga kalian bersedia untuk memeliharanya, dan saya memberitahukan kepada siapapun yang berselisih ingin beres, atau naik pangkat juga ingin punya pekerjaan silahkan nyekar ke sana, agungnya kepada Allah SWT semoga sareatnya dari sana”
Setelah itu beliau pulang ke Sumedang.
DFp
Monday, March 9, 2009
SEJARAH MAKAM SYEKH ABDUL GHORIB
SEJARAH PERJUANGAN
KH. SYEKH ABDUL GHORIB
MENGEMBANGKAN AGAMA ISLAM
DI SEKITAR JAWA BARAT
KP. CIBEAS KEL. PICUNGREUMUK
KEC. KAWALU KOTA TASIKMALAYA
SILSILAH SYEH HAJI ABDUL GHORIB
YANG DIMAKAMKAN DI CIBEAS
KEL. PICUNGREUMUK KEC. KAWALU
KOTA TASIKMALAYA
Bismillahirrohmanirrohim,
SYEH HAJI ABDUL GHORIB, adalah seorang ulama besar mempunyai jiwa kewalian, tinggi budi pekertinya, besar pengaruhnya, berwibawa dalam kepemimpinan, luhur ilmunya, diturut oleh segenap rakyat, cinta bangsa dan tanah air, cinta agama serta kasih saying terhadap sesame makhlu Alloh SWT.
KETERANGAN :
A. Perkataan Ghorib diambil dari bahasa arab ;
- Asal kalimat dari pada Ghoroba ( ) artinya bertempat tinggal di negeri lain
atau di daerah orang lain sebagai
pengembara/pendatang.
- Asal kalimat dari pada Ghoriibun ( ) artinya orang pendatang, pemilik yang
banyak keajaiban-keajaiban.
- Asal kalimat dari pada Ghooribun ( ) artinya yang tinggi dari tiap-tiap sesuatu,
luhur martabatnya, luhur ilmunya dari
orang lain.
B. PESANTREN.
Syeh Haji Abdul Ghorib, dilahirkan di daerah Kudus ( waktu itu teramsuk daerah Kerajaan Mataram – Jawa Tengah ) sekitar tahun 1655 M / 1076 H. Semenjak kecil beliau suka mencari ilmu ( tolab ilmu ) seperti ilmu kenegaraan, ilmu pengetahuan dan ilmu keagamaan ( terutama agama islam ). Tiap-tiap pesantren didatanginya baik pesantren-pesantren yang berada di pulau jawa maupun pesantren-pesantren yang ada di pulau Sumatra yaitu ; aceh.
C. NAIK HAJI.
Setelah ilmunya banyak beliau diajak oleh gurunya untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci mekah. Beliau bersama gurunya dan beberapa orang santri lainnya berangkat ke tanah suci mekah dengan maksud yang sama yaitu menunaikan ibadah haji.
D. BERMUKIM DI MEKAH.
Syeh Haji Abdul Ghorib saat di mekah sudah kelihatan adanya tanda-tanda/sifat-sifat kewalian, sehingga oleh gurunya beliau disuruh untuk bermukim dulu di mekah sambil memperdalam ilmu keagamaan yaitu tentang ajaran agama islam.
E. MENDIRIKAN PESANTREN.
Setelah beberapa tahun bermukim di mekah dan telah memperoleh ilmu tentang agama islam,
Kemudian beliau pulang ke tanah jawa tempat kelahirannya di daerah Kudus. Setibanya di tempat kediamannya beliau disambut oleh rakyat/masyarakat Kudus, dan selanjutnya masyarakat beramai-ramai mendirikan pesantren dan tempat tinggal ( rumah ) bagi Syeh Haji Abdul Ghorib.
Berkat hasil gotong royong masyarakat, maka terwujudlah suatu pesantren yang megah dan banyak dikunjungi oleh santri dari tiap-tiap daerah dengan maksud untuk melakukan tolabul ilmi.
Setelah berhasil mendirikan pesantren, tak lama kemudian Syeh Haji Abdul Ghorib oleh orang tuanya ditikahkan kepada gadis pilihannya bernama Rd. Ajeng Ayu Sutri, masih keturunan keraton yang benar-benar taat dan patuh terhadap ajaran agama islam.
Pada saat keemasannya mengembangkan ajaran agama islam, dan santri-santrinya banyak terdiri dari santri anak-anak, muda maupun mudi, orang tua baik laki-laki maupun perempuan, maka meletuslah suatu peperangan dengan Kompeni Belanda (VOC) terhadap penduduk asli terutama terhadap pemuka-pemuka agama islam. Terjadinya peperangan melawan penjajahan Belanda, semakin hari semakin meluas kesetiap penjuru pulau Jawa terutama di daerah : Jawa Timur termasuk daerah Madura, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Untuk memperkuat pasukannya tentara belanda mendatangkan bala bantuan dari negeri asalnya, sehingga kedudukan tentara belanda tidak seimbang dengan pasukan dari penduduk pribumi. Hal ini menyebabkan rakyat Indonesia mengalami kewalahan dan terdesak oleh kekuatan angkatan perang Belanda.
Pada waktu terjadinya peperangan tersebut, Syeh Haji Abdul Ghorib ikut serta dalam peperangan dengan menggunakan taktik gerilya bersama dengan para santrinya dan masyarakat setempat dengan maksud untuk menumpas penjajahan Belanda., namun karena kekuatan pasukan Belanda sangat banyak dan persenjataannya semakin lengkap, lama-kelamaan pasukan gerilya terdesak dan akhirnya mundur/meloloskan diri dengan maksud untuk menghindari dari serangan Belanda. Mereka beranggapan lebih baik mundur darp pada harus tunduk dan mengabdi terhadap Belanda.
F. HIJRAH KE JAWA BARAT.
Syeh Haji Abdul Ghorib beserta keluarganya dan beberapa pengikutnya disertai seorang ajengan yang bernama ajengan Kursiban, berhasil meloloskan diri dan hijrah ke Jawa Barat dengan maksud untuk mendapatkan suatu perlindungan sambil menyusun kembali kekuatan dalam rangka mengembangkan ajaran agama islam.
Sebelum berangkat menuju daerah Jawa Barat, beliau ( KH.Syeh Abd.Ghorib ) sempat berziarah ke makam syeh Maulana Malik Ibrahim di gresik dekat Surabaya. Setelah selesai berziarah di makam tersebut kemudian berangkat menuju Jawa Barat . Di Cirebon dengan mengambil jalan pinggir pesisir lautan sebelah utara Pulau Jawa. Di Cierbon beliau mendatangi pembesar-pembesar /pemuka-pemuka Agama Islam dengan maksud Silaturahmi dam minta pendapat untuk menyusun pasukan dan mengembangkan kembali ajaran Agama Islam. Dan juga beliau sempat berziarah ke makam Wali Sultan Fatahilah /Maualana Syarif Hidayattulloh atau disebut juga sebagai Sunan Gunung Jati
Selesai dari Cirebon , selanjutnya beliau berangkat menuju Banten disana beliau mendatangi para pembesar /pemuka Agama dan para Ulama Islam, beliau sempat berziarah ke makam Syeh Sultan Hasanudin . Dari Banten beliau menuju Bogor ,bersama-sama rombongannya, beliau sempat meninjau tempat Prasasti batu tulis dan berziarah ke tempat kerajaan Tarumanegara (Kerajaan Peninggalan purbakala Zaman Raja Purnawarman) sambil mengadakan Silaturahmi dengan para ulama di daerah tersebut.
Dari tiga daerah tersebut yaitu Cirebon,Banten dan Bogor,beliau mendapat petunjuk untuk terus melakukan perjalanan menuju daerah Sumedang sebelah Timur/Selatan dari Tasikmalaya . sesampainya di daerah Sumedang tersebut beliau berserta rombongannya di sambut baik oleh masyarakat dan para alim Ulama setempat, malah dari pihak pemerintah setempat beluiau di berikan seorang pejabat dari kejaksaan yang bertugas untuk menemaninya selama melakukan perjalanan ke Daerah lain /sampai ke tempat yang di tuju.Kemudian Syeh Haji Abdul Ghorib menyempatkan waktu silaturahmi mendatangi saudaranyan yaitu, Syeh Haji Abdul Muhyi di Pamijahan dengan mohon Do’a restunya untuk bermukim di suatu daerah yang telah di tentukan.
G . MENDIRIKAN PESANTREN DI TASIKMALAYA
Dari Daerah Sumedang . selanjutnya beliau beserta rombongannya menuju daerah Tasikmalaya . Tepatnya di sebuah kampong yang terletak di suatu daerah yang di kelilingi bukit-bukit ,disanalah kemudian beliau bermukim beliau bermukim dan mendirikan sebuah pesantren (+ tahun 1708 M / 1129 H). Dan beliau mendirikan pesantren pada usia 53 tahun .
Syeh Haji Abdul Ghorib menetap didaerah tersebut selama kurang lebih 37 tahun, pada akhirnya beliau wafat pada usia 90 tahun (1745 M/1165 H ) .Jasadnya di makamkan di kampung pesantren tersebut yang sekarang di namakan kampong Cibeas – kabupaten Tasikmalaya .
Pada awalnya kampung tersebut di beri nama kampung pesantren ,karena banyak santri-santri yang berdatangan ditempat tersebut baik baik daerah dekat maupun santri dari daerah jauh,dengan maksud untuk mencari ilmu. Karena ramainya kampung tersebut di datangi oleh mereka yang ingin mencari ilmu tentang ajaran agama islam, maka pada akhirnya nama kampung tersabut tercantum di dalam atlas tarutama di dalam atlas lapangan / kar yang biasa di pakai oleh anggota militer.
Pada zaman Syeh Haji Abdul Ghorib masih hidup, kampung pesntren (sekarang kampung Cibeas) termasuk pada wilayah kekuasaan kewedanaan Cicariang kolot (sekarang bernama kampung muncang) .pada waktu itu yang menjadi wedananya bernama Rd . Surawija .setelah Syeh H. Abdul Ghorib menionggal dunia, makamnya banyak di kunjungi oleh para peziarah yang berasal daaari daerah atau kabupaten luar Propinsi Jawa Barat, seperti dari Jawa Tengah maupun dari Jawa Timur .
Pada bulan Nopember 1946 Presiden Republik Indonesai yang pertama Ir. Soekarno bersama tamu dari India dan beberapa pejabat Negara pernah berkunjung kekampung Cibeas dan berziarah ke makam syeh H. Abdul Ghorib . Kunjungan persiden
RI beserta rombongan nya itu tiada lain untuk meninjau kemajuan daerah tersebut dan kemajuan pesantren . Di daerah kampong Cibeas, Presiden Ri Ir.Soekarno mendapatkanAzimat pusaka peninggalan Syeh Haji Abdul Ghorib berupa keris pusaka dari rumah kuncen Haji Abdul Ghorib yang istrinya bernama Ny. Hajah Jubaedah .
H. KEADAAN TEMPAT DIMAKAMKANNYA SYEH HAJI ABDUL GHORIB
Keberadaan lokasi pemakaman Syeh K.H. Abdul Ghorib, berada + 350 m disebelah Utara dari Kampung Cibeas Desa Picung Remuk, Kecamatan Kawalu Kabupaten Tasikmalaya , Propisi Jawa Barat .
I. PENGGANTIAN NAMA KAMPUNG PESANTREN
Sebabnya kampong pesantren itu dinamakan kampong Cibeas, karena para orang tua pada waktu itu setelahnya Syeh H. Abdul Ghorib meninggal dunia,mereka mengadakan musyawrah dn penelitian. Hasi dari musyawarah tersebut, dapat disimpulkan bahwa kampong pesatren dirubah namanya menjadi Kampung Cibeas. Hal ini dikarenakan didekat bekas pesantren tersebut ada satu sumur tempat mandi dan cuci beras (bahasa sunda ngisikan/ngumbah beas) bekas Syeh k.H Abdul Ghorib dan istrinya. Sumur tersebutsamapai sekarang masih terus dipergunakan oleh masyarakat setempat.
Dipimggir Kampung cibeas ada sebuah kali yang menurut cerita para orang dahulu, di kali tersebut terdapat sebuah leuwi (pusaran aii yang dalam) yang air berwarna putih seperti air cician beras . kali yang da di daerah tersebut sampai sekarang terkenal dengan sebutan kali Cibeas, airnya mengalir kakali cibangbay dan teru mengalir ke kali Ciwulan berakhir di laut Hindia sebelah selatan kota Tasikmalaya.
II. KEADAN MAKAM
Sebuah gunung diman K.H Abdul Ghorib di makamkan, terdapat 9 (sembilan ) makam /kuburan diantaranya :
1. Makam Syekh Haji Abdul ghorib
2. Makam Rd. Ajeng Ayu Sutri (istri Syekh H. Abdul Ghorib)
3. Makam Rd . Paranakusumah (Jaksa sumedang dan Bapak dari Rd Surawijaya )
4. Makam Rd. Surawijaya (tang menjadi wedana Cicariang, Bapaknya Rd. Indar jaya).
5. Makam Rd. Inda (istri Pd. Suruwijaya)
6. Makam Rd. Indrajaya (yang menjadi wedana di Manonjaya )
Ketrangan : Rd . Idr ajaya mempunyai anak bernama Rd. Haji Abu Bakar / penghulu afleding di Tasikmalaya . Rd Haji Abu Bakar mempunyai anak bernama Rd. Cioh. Sedangkan Rd. Cioh mempunyai anak bernama Rd. Abas Wilagosomantri yang pernah menjadi bupati da Kabupaten Tasikmalaya pada tanggal 12 Oktober 1948 sampai 4 Agustus 1951. dan terus dialih tugaskan menjadi Resident di Kabupaten Bogor.
7. Makam Ajengan Nursabin, salah seorang pengikuti syekh Haji Abdul Ghorib.
8. Makam Pahlawan Rd. Abd.Manaf ( putranya Syekh Haji abdul Ghorib )
9. Makam Pahlawan Rd. Abduloh ( putranya syekh Haji Abddul ghorib )
Di kompleks makam tersebut tadak ada lagi makam/kuburan yang lain selain dari pada makam/kuburan mereka seperti tersebut di atas .
Demikian Silsilah/riwayat Syekh Haji Abul Ghorib yang daoat di kumukakan sebagai hasil dari penelitian dan cerita-cerita dari para orang tua serta dara para kuncen yang pernah bertugas mengurus makam tersebut. Adapun sumber berupa buku tantang riwayat Syek Haji Abdul ghorib beserta para pengikutnya , menurut Kuncen K.H Muhjadin catatav aslinya dapinjam / di pegang oleh Rd. Abas Wilaga Somantri pada tahun 1949 waktu beliau masih menjabat sebagai bupati di Kabupaten Tasikmalaya .
III. PEMILIHARAAN MAKAM KARAMAT DI KAMPUNG CIBEAS
- Susunan panembahan / Kuncen Cibeas
1. Bapak Kolot putranya Syekh Haji AbdulGhorib .
2. Bapak anti putra dari Bapak Kolot .
3. Anti putranya Bapak anti
4. Haji abdurrohman putra dari anti .
5. Haji Jarkasih putranya Haji Abdurrohman .
6. K.H muhjidin cucu dari H. abdurahaman .
7. Bapak Odjo Sutardjo cucu dari H. abdurrohman ( Adiknya K.H Muhjidin )
- Amanat / wasiat dari kuncen pertama :
1. Makam tersebut supaya di pelihara dengan baik .
2. Yang menjadi kuncen harus dari keturunan kuncen pertama ,dan masih ada hubungan keluarga dari keturunan syekh H. Abduk Ghorib .
3. areal tanah sekitar makam Syekh H. Abdul ghorib luasnya + 21 HA hak miliknya Kuncen selama mereka mengurus makam tersebut, tidak boleh di jualbelikan dan harus dijaga kelestariannya .
-Amanat / wasiat dari kuncen K.H M. Muhjidin
Nanti , jika saya meninggal dunia , yang menjadi pengurus makam/kuncen Syekh Haji Abdul Ghorib di kampung cibeas adalah sebagai berikut:
1. Adik saya bernama Odjo Sutarjo ,
2. Anak saya, dan dikemudian hari selanjutnya di teruskan oleh keturunan adik saya Odjo Sutarjo.
- Do’a :
Marilah kita berdo’a kepada alloh SWT , semoga para arwah yang di makamkan di kompleks pemakaman Syekh Haji Abdul Ghorib beserta arwah para kuncen khususnya yang telah merelakan waktu dan tenaganya dalam mengurus dan memelihara makam keramat tersebut , dan umumnya kepada para arwah orang tua kita beserta kaum muslimin wal muslimat , mudah-mudahan arwah beliau di terima disisi-nya serta mendapat ridho Alloh SWT dan magfiroh dari Alloh SWT , amin yarobal alamin .
- Penutup :
Demikianlah uraian singkat tentang riwayat Syekh Haji Abdul Ghorib beserta keadaan lingkungan tempat beliau mendirikan pesantren sampai beliau beserta para pengikutnya di makamkan di Kampung Cibeas Kabupaten Tasikmalaya , serta para pengurus makam / kuncen yang dengan suka rela tanpa pamrih mengurus dan memelihara keadaan makam tersebut.
Uraian tentang sejarah singkat perjalanan Syekh Haji Abdul Ghorib yang di makamkan di Kampung Cibeas , ditulis sesuai keterangan dari para orang tua terdahulu dan di percaya . Keterangannya di tulis oleh kuncen K.H.M.Muhjidin pada tanggal 1 April 1981 .
Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada kekeliruan dan kesalahan dalam penulisan dan susunan kalimatnya . Maklum sifat manusia Al insane Almahalul khotho wa nisyan.
Terima Kasih.
Mengetahui Cibeas , 2 April 1981
Disusun kembali oleh :
(K.H MUHJIDIN ) (ORJO SUTARDJO)
TATA TERTIB BERZIARAH
KE MAKAM SYEKH HAJI ABDUL GHORIB
KAMPUNG CIBEAS DS. PICUNGREMUK ;
KECAMATAN KAWALU KABUPATEN TASIKMALAYA
1. HARUS MENDAFTARKAN DIRI KE KUNCEN
2. PERGI BERZIARAH ATAS PETUNJUK KUNCEN
3. WAKTU BERZIARAH HARUS BERPAKAIAN SOPAN MENURUT TATA CARA BERPAKAIAN SESUAI ATURAN AGAMA ISLAM.
4. BERZIARAHLAH SESUAI AJARARAN ISLAM , BERMOHONLAH DAN BERDO’ALAH KEPADA ALLOH SWT , JANGANLAH MENYEKUTUKAN ALLOH SWT DENGAN SEGALA SESUATU ;
5. BERTAWASULAH YANG BAIK/BENAR DENGAN KEAGUNGAN KAROMATNYA WALIYULLOH SYEKH HAJI ABDUL GHORIB DI CIBEAS ;
6. MENGINDAHKAN SEGALA KETENTUAN YANG ADA DI MAKAM , TERUTAMA MENGENAI KETERTIBAN , KEINDAHAN , KEAMANAN , KESEHATAN DAN KEBERSIHAN .
7. DILARANG MENULIS FISIK BANGUNAN/KUBURAN , BENTENG ,JALAN DAN LAIN SEBAGAINYA , DI LINGKUNGAN/KOMPLEK MAKAM .
8. KALAU MAU PULANG PAMITAM DAHULU KEPADA KUNCEN .
9. LAMA BERZIARAH MAKSIMAL 3 HARI .
…….******…….
BERZIARAH KE KUBUR / MAKAM :
MENZIARAHI KUBURAN /MAKAM SALAH SATU JALAN UNTUK MENGINGAT AKAN MATI DAN MENGINGAT AKAN HARI AKHIRAT .
NABI SALALLOOHU ‘ ALAIHI WASSALAM TELAH BERSABDA ; BERZIARAHLAH KALIAN KE MAKAM –MAKAM YANG TELAH MENINGGAL DUNIA , SEBAB ZIARAH ITU MENGINGATKAN KITA AKAN KEHIDUPAN DI ALAM AKHIRAT KELAK . “Hadist riwayat Ibnu Majah dari Abi Haraeroh”
………..********………..
KH. SYEKH ABDUL GHORIB
MENGEMBANGKAN AGAMA ISLAM
DI SEKITAR JAWA BARAT
KP. CIBEAS KEL. PICUNGREUMUK
KEC. KAWALU KOTA TASIKMALAYA
SILSILAH SYEH HAJI ABDUL GHORIB
YANG DIMAKAMKAN DI CIBEAS
KEL. PICUNGREUMUK KEC. KAWALU
KOTA TASIKMALAYA
Bismillahirrohmanirrohim,
SYEH HAJI ABDUL GHORIB, adalah seorang ulama besar mempunyai jiwa kewalian, tinggi budi pekertinya, besar pengaruhnya, berwibawa dalam kepemimpinan, luhur ilmunya, diturut oleh segenap rakyat, cinta bangsa dan tanah air, cinta agama serta kasih saying terhadap sesame makhlu Alloh SWT.
KETERANGAN :
A. Perkataan Ghorib diambil dari bahasa arab ;
- Asal kalimat dari pada Ghoroba ( ) artinya bertempat tinggal di negeri lain
atau di daerah orang lain sebagai
pengembara/pendatang.
- Asal kalimat dari pada Ghoriibun ( ) artinya orang pendatang, pemilik yang
banyak keajaiban-keajaiban.
- Asal kalimat dari pada Ghooribun ( ) artinya yang tinggi dari tiap-tiap sesuatu,
luhur martabatnya, luhur ilmunya dari
orang lain.
B. PESANTREN.
Syeh Haji Abdul Ghorib, dilahirkan di daerah Kudus ( waktu itu teramsuk daerah Kerajaan Mataram – Jawa Tengah ) sekitar tahun 1655 M / 1076 H. Semenjak kecil beliau suka mencari ilmu ( tolab ilmu ) seperti ilmu kenegaraan, ilmu pengetahuan dan ilmu keagamaan ( terutama agama islam ). Tiap-tiap pesantren didatanginya baik pesantren-pesantren yang berada di pulau jawa maupun pesantren-pesantren yang ada di pulau Sumatra yaitu ; aceh.
C. NAIK HAJI.
Setelah ilmunya banyak beliau diajak oleh gurunya untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci mekah. Beliau bersama gurunya dan beberapa orang santri lainnya berangkat ke tanah suci mekah dengan maksud yang sama yaitu menunaikan ibadah haji.
D. BERMUKIM DI MEKAH.
Syeh Haji Abdul Ghorib saat di mekah sudah kelihatan adanya tanda-tanda/sifat-sifat kewalian, sehingga oleh gurunya beliau disuruh untuk bermukim dulu di mekah sambil memperdalam ilmu keagamaan yaitu tentang ajaran agama islam.
E. MENDIRIKAN PESANTREN.
Setelah beberapa tahun bermukim di mekah dan telah memperoleh ilmu tentang agama islam,
Kemudian beliau pulang ke tanah jawa tempat kelahirannya di daerah Kudus. Setibanya di tempat kediamannya beliau disambut oleh rakyat/masyarakat Kudus, dan selanjutnya masyarakat beramai-ramai mendirikan pesantren dan tempat tinggal ( rumah ) bagi Syeh Haji Abdul Ghorib.
Berkat hasil gotong royong masyarakat, maka terwujudlah suatu pesantren yang megah dan banyak dikunjungi oleh santri dari tiap-tiap daerah dengan maksud untuk melakukan tolabul ilmi.
Setelah berhasil mendirikan pesantren, tak lama kemudian Syeh Haji Abdul Ghorib oleh orang tuanya ditikahkan kepada gadis pilihannya bernama Rd. Ajeng Ayu Sutri, masih keturunan keraton yang benar-benar taat dan patuh terhadap ajaran agama islam.
Pada saat keemasannya mengembangkan ajaran agama islam, dan santri-santrinya banyak terdiri dari santri anak-anak, muda maupun mudi, orang tua baik laki-laki maupun perempuan, maka meletuslah suatu peperangan dengan Kompeni Belanda (VOC) terhadap penduduk asli terutama terhadap pemuka-pemuka agama islam. Terjadinya peperangan melawan penjajahan Belanda, semakin hari semakin meluas kesetiap penjuru pulau Jawa terutama di daerah : Jawa Timur termasuk daerah Madura, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Untuk memperkuat pasukannya tentara belanda mendatangkan bala bantuan dari negeri asalnya, sehingga kedudukan tentara belanda tidak seimbang dengan pasukan dari penduduk pribumi. Hal ini menyebabkan rakyat Indonesia mengalami kewalahan dan terdesak oleh kekuatan angkatan perang Belanda.
Pada waktu terjadinya peperangan tersebut, Syeh Haji Abdul Ghorib ikut serta dalam peperangan dengan menggunakan taktik gerilya bersama dengan para santrinya dan masyarakat setempat dengan maksud untuk menumpas penjajahan Belanda., namun karena kekuatan pasukan Belanda sangat banyak dan persenjataannya semakin lengkap, lama-kelamaan pasukan gerilya terdesak dan akhirnya mundur/meloloskan diri dengan maksud untuk menghindari dari serangan Belanda. Mereka beranggapan lebih baik mundur darp pada harus tunduk dan mengabdi terhadap Belanda.
F. HIJRAH KE JAWA BARAT.
Syeh Haji Abdul Ghorib beserta keluarganya dan beberapa pengikutnya disertai seorang ajengan yang bernama ajengan Kursiban, berhasil meloloskan diri dan hijrah ke Jawa Barat dengan maksud untuk mendapatkan suatu perlindungan sambil menyusun kembali kekuatan dalam rangka mengembangkan ajaran agama islam.
Sebelum berangkat menuju daerah Jawa Barat, beliau ( KH.Syeh Abd.Ghorib ) sempat berziarah ke makam syeh Maulana Malik Ibrahim di gresik dekat Surabaya. Setelah selesai berziarah di makam tersebut kemudian berangkat menuju Jawa Barat . Di Cirebon dengan mengambil jalan pinggir pesisir lautan sebelah utara Pulau Jawa. Di Cierbon beliau mendatangi pembesar-pembesar /pemuka-pemuka Agama Islam dengan maksud Silaturahmi dam minta pendapat untuk menyusun pasukan dan mengembangkan kembali ajaran Agama Islam. Dan juga beliau sempat berziarah ke makam Wali Sultan Fatahilah /Maualana Syarif Hidayattulloh atau disebut juga sebagai Sunan Gunung Jati
Selesai dari Cirebon , selanjutnya beliau berangkat menuju Banten disana beliau mendatangi para pembesar /pemuka Agama dan para Ulama Islam, beliau sempat berziarah ke makam Syeh Sultan Hasanudin . Dari Banten beliau menuju Bogor ,bersama-sama rombongannya, beliau sempat meninjau tempat Prasasti batu tulis dan berziarah ke tempat kerajaan Tarumanegara (Kerajaan Peninggalan purbakala Zaman Raja Purnawarman) sambil mengadakan Silaturahmi dengan para ulama di daerah tersebut.
Dari tiga daerah tersebut yaitu Cirebon,Banten dan Bogor,beliau mendapat petunjuk untuk terus melakukan perjalanan menuju daerah Sumedang sebelah Timur/Selatan dari Tasikmalaya . sesampainya di daerah Sumedang tersebut beliau berserta rombongannya di sambut baik oleh masyarakat dan para alim Ulama setempat, malah dari pihak pemerintah setempat beluiau di berikan seorang pejabat dari kejaksaan yang bertugas untuk menemaninya selama melakukan perjalanan ke Daerah lain /sampai ke tempat yang di tuju.Kemudian Syeh Haji Abdul Ghorib menyempatkan waktu silaturahmi mendatangi saudaranyan yaitu, Syeh Haji Abdul Muhyi di Pamijahan dengan mohon Do’a restunya untuk bermukim di suatu daerah yang telah di tentukan.
G . MENDIRIKAN PESANTREN DI TASIKMALAYA
Dari Daerah Sumedang . selanjutnya beliau beserta rombongannya menuju daerah Tasikmalaya . Tepatnya di sebuah kampong yang terletak di suatu daerah yang di kelilingi bukit-bukit ,disanalah kemudian beliau bermukim beliau bermukim dan mendirikan sebuah pesantren (+ tahun 1708 M / 1129 H). Dan beliau mendirikan pesantren pada usia 53 tahun .
Syeh Haji Abdul Ghorib menetap didaerah tersebut selama kurang lebih 37 tahun, pada akhirnya beliau wafat pada usia 90 tahun (1745 M/1165 H ) .Jasadnya di makamkan di kampung pesantren tersebut yang sekarang di namakan kampong Cibeas – kabupaten Tasikmalaya .
Pada awalnya kampung tersebut di beri nama kampung pesantren ,karena banyak santri-santri yang berdatangan ditempat tersebut baik baik daerah dekat maupun santri dari daerah jauh,dengan maksud untuk mencari ilmu. Karena ramainya kampung tersebut di datangi oleh mereka yang ingin mencari ilmu tentang ajaran agama islam, maka pada akhirnya nama kampung tersabut tercantum di dalam atlas tarutama di dalam atlas lapangan / kar yang biasa di pakai oleh anggota militer.
Pada zaman Syeh Haji Abdul Ghorib masih hidup, kampung pesntren (sekarang kampung Cibeas) termasuk pada wilayah kekuasaan kewedanaan Cicariang kolot (sekarang bernama kampung muncang) .pada waktu itu yang menjadi wedananya bernama Rd . Surawija .setelah Syeh H. Abdul Ghorib menionggal dunia, makamnya banyak di kunjungi oleh para peziarah yang berasal daaari daerah atau kabupaten luar Propinsi Jawa Barat, seperti dari Jawa Tengah maupun dari Jawa Timur .
Pada bulan Nopember 1946 Presiden Republik Indonesai yang pertama Ir. Soekarno bersama tamu dari India dan beberapa pejabat Negara pernah berkunjung kekampung Cibeas dan berziarah ke makam syeh H. Abdul Ghorib . Kunjungan persiden
RI beserta rombongan nya itu tiada lain untuk meninjau kemajuan daerah tersebut dan kemajuan pesantren . Di daerah kampong Cibeas, Presiden Ri Ir.Soekarno mendapatkanAzimat pusaka peninggalan Syeh Haji Abdul Ghorib berupa keris pusaka dari rumah kuncen Haji Abdul Ghorib yang istrinya bernama Ny. Hajah Jubaedah .
H. KEADAAN TEMPAT DIMAKAMKANNYA SYEH HAJI ABDUL GHORIB
Keberadaan lokasi pemakaman Syeh K.H. Abdul Ghorib, berada + 350 m disebelah Utara dari Kampung Cibeas Desa Picung Remuk, Kecamatan Kawalu Kabupaten Tasikmalaya , Propisi Jawa Barat .
I. PENGGANTIAN NAMA KAMPUNG PESANTREN
Sebabnya kampong pesantren itu dinamakan kampong Cibeas, karena para orang tua pada waktu itu setelahnya Syeh H. Abdul Ghorib meninggal dunia,mereka mengadakan musyawrah dn penelitian. Hasi dari musyawarah tersebut, dapat disimpulkan bahwa kampong pesatren dirubah namanya menjadi Kampung Cibeas. Hal ini dikarenakan didekat bekas pesantren tersebut ada satu sumur tempat mandi dan cuci beras (bahasa sunda ngisikan/ngumbah beas) bekas Syeh k.H Abdul Ghorib dan istrinya. Sumur tersebutsamapai sekarang masih terus dipergunakan oleh masyarakat setempat.
Dipimggir Kampung cibeas ada sebuah kali yang menurut cerita para orang dahulu, di kali tersebut terdapat sebuah leuwi (pusaran aii yang dalam) yang air berwarna putih seperti air cician beras . kali yang da di daerah tersebut sampai sekarang terkenal dengan sebutan kali Cibeas, airnya mengalir kakali cibangbay dan teru mengalir ke kali Ciwulan berakhir di laut Hindia sebelah selatan kota Tasikmalaya.
II. KEADAN MAKAM
Sebuah gunung diman K.H Abdul Ghorib di makamkan, terdapat 9 (sembilan ) makam /kuburan diantaranya :
1. Makam Syekh Haji Abdul ghorib
2. Makam Rd. Ajeng Ayu Sutri (istri Syekh H. Abdul Ghorib)
3. Makam Rd . Paranakusumah (Jaksa sumedang dan Bapak dari Rd Surawijaya )
4. Makam Rd. Surawijaya (tang menjadi wedana Cicariang, Bapaknya Rd. Indar jaya).
5. Makam Rd. Inda (istri Pd. Suruwijaya)
6. Makam Rd. Indrajaya (yang menjadi wedana di Manonjaya )
Ketrangan : Rd . Idr ajaya mempunyai anak bernama Rd. Haji Abu Bakar / penghulu afleding di Tasikmalaya . Rd Haji Abu Bakar mempunyai anak bernama Rd. Cioh. Sedangkan Rd. Cioh mempunyai anak bernama Rd. Abas Wilagosomantri yang pernah menjadi bupati da Kabupaten Tasikmalaya pada tanggal 12 Oktober 1948 sampai 4 Agustus 1951. dan terus dialih tugaskan menjadi Resident di Kabupaten Bogor.
7. Makam Ajengan Nursabin, salah seorang pengikuti syekh Haji Abdul Ghorib.
8. Makam Pahlawan Rd. Abd.Manaf ( putranya Syekh Haji abdul Ghorib )
9. Makam Pahlawan Rd. Abduloh ( putranya syekh Haji Abddul ghorib )
Di kompleks makam tersebut tadak ada lagi makam/kuburan yang lain selain dari pada makam/kuburan mereka seperti tersebut di atas .
Demikian Silsilah/riwayat Syekh Haji Abul Ghorib yang daoat di kumukakan sebagai hasil dari penelitian dan cerita-cerita dari para orang tua serta dara para kuncen yang pernah bertugas mengurus makam tersebut. Adapun sumber berupa buku tantang riwayat Syek Haji Abdul ghorib beserta para pengikutnya , menurut Kuncen K.H Muhjadin catatav aslinya dapinjam / di pegang oleh Rd. Abas Wilaga Somantri pada tahun 1949 waktu beliau masih menjabat sebagai bupati di Kabupaten Tasikmalaya .
III. PEMILIHARAAN MAKAM KARAMAT DI KAMPUNG CIBEAS
- Susunan panembahan / Kuncen Cibeas
1. Bapak Kolot putranya Syekh Haji AbdulGhorib .
2. Bapak anti putra dari Bapak Kolot .
3. Anti putranya Bapak anti
4. Haji abdurrohman putra dari anti .
5. Haji Jarkasih putranya Haji Abdurrohman .
6. K.H muhjidin cucu dari H. abdurahaman .
7. Bapak Odjo Sutardjo cucu dari H. abdurrohman ( Adiknya K.H Muhjidin )
- Amanat / wasiat dari kuncen pertama :
1. Makam tersebut supaya di pelihara dengan baik .
2. Yang menjadi kuncen harus dari keturunan kuncen pertama ,dan masih ada hubungan keluarga dari keturunan syekh H. Abduk Ghorib .
3. areal tanah sekitar makam Syekh H. Abdul ghorib luasnya + 21 HA hak miliknya Kuncen selama mereka mengurus makam tersebut, tidak boleh di jualbelikan dan harus dijaga kelestariannya .
-Amanat / wasiat dari kuncen K.H M. Muhjidin
Nanti , jika saya meninggal dunia , yang menjadi pengurus makam/kuncen Syekh Haji Abdul Ghorib di kampung cibeas adalah sebagai berikut:
1. Adik saya bernama Odjo Sutarjo ,
2. Anak saya, dan dikemudian hari selanjutnya di teruskan oleh keturunan adik saya Odjo Sutarjo.
- Do’a :
Marilah kita berdo’a kepada alloh SWT , semoga para arwah yang di makamkan di kompleks pemakaman Syekh Haji Abdul Ghorib beserta arwah para kuncen khususnya yang telah merelakan waktu dan tenaganya dalam mengurus dan memelihara makam keramat tersebut , dan umumnya kepada para arwah orang tua kita beserta kaum muslimin wal muslimat , mudah-mudahan arwah beliau di terima disisi-nya serta mendapat ridho Alloh SWT dan magfiroh dari Alloh SWT , amin yarobal alamin .
- Penutup :
Demikianlah uraian singkat tentang riwayat Syekh Haji Abdul Ghorib beserta keadaan lingkungan tempat beliau mendirikan pesantren sampai beliau beserta para pengikutnya di makamkan di Kampung Cibeas Kabupaten Tasikmalaya , serta para pengurus makam / kuncen yang dengan suka rela tanpa pamrih mengurus dan memelihara keadaan makam tersebut.
Uraian tentang sejarah singkat perjalanan Syekh Haji Abdul Ghorib yang di makamkan di Kampung Cibeas , ditulis sesuai keterangan dari para orang tua terdahulu dan di percaya . Keterangannya di tulis oleh kuncen K.H.M.Muhjidin pada tanggal 1 April 1981 .
Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada kekeliruan dan kesalahan dalam penulisan dan susunan kalimatnya . Maklum sifat manusia Al insane Almahalul khotho wa nisyan.
Terima Kasih.
Mengetahui Cibeas , 2 April 1981
Disusun kembali oleh :
(K.H MUHJIDIN ) (ORJO SUTARDJO)
TATA TERTIB BERZIARAH
KE MAKAM SYEKH HAJI ABDUL GHORIB
KAMPUNG CIBEAS DS. PICUNGREMUK ;
KECAMATAN KAWALU KABUPATEN TASIKMALAYA
1. HARUS MENDAFTARKAN DIRI KE KUNCEN
2. PERGI BERZIARAH ATAS PETUNJUK KUNCEN
3. WAKTU BERZIARAH HARUS BERPAKAIAN SOPAN MENURUT TATA CARA BERPAKAIAN SESUAI ATURAN AGAMA ISLAM.
4. BERZIARAHLAH SESUAI AJARARAN ISLAM , BERMOHONLAH DAN BERDO’ALAH KEPADA ALLOH SWT , JANGANLAH MENYEKUTUKAN ALLOH SWT DENGAN SEGALA SESUATU ;
5. BERTAWASULAH YANG BAIK/BENAR DENGAN KEAGUNGAN KAROMATNYA WALIYULLOH SYEKH HAJI ABDUL GHORIB DI CIBEAS ;
6. MENGINDAHKAN SEGALA KETENTUAN YANG ADA DI MAKAM , TERUTAMA MENGENAI KETERTIBAN , KEINDAHAN , KEAMANAN , KESEHATAN DAN KEBERSIHAN .
7. DILARANG MENULIS FISIK BANGUNAN/KUBURAN , BENTENG ,JALAN DAN LAIN SEBAGAINYA , DI LINGKUNGAN/KOMPLEK MAKAM .
8. KALAU MAU PULANG PAMITAM DAHULU KEPADA KUNCEN .
9. LAMA BERZIARAH MAKSIMAL 3 HARI .
…….******…….
BERZIARAH KE KUBUR / MAKAM :
MENZIARAHI KUBURAN /MAKAM SALAH SATU JALAN UNTUK MENGINGAT AKAN MATI DAN MENGINGAT AKAN HARI AKHIRAT .
NABI SALALLOOHU ‘ ALAIHI WASSALAM TELAH BERSABDA ; BERZIARAHLAH KALIAN KE MAKAM –MAKAM YANG TELAH MENINGGAL DUNIA , SEBAB ZIARAH ITU MENGINGATKAN KITA AKAN KEHIDUPAN DI ALAM AKHIRAT KELAK . “Hadist riwayat Ibnu Majah dari Abi Haraeroh”
………..********………..
Tuesday, March 3, 2009
CHRONOS NUMBER FAMILY
CHRONOS NUMBER FAMILY ADALAH SEBUAH NAMA PADA SEBUAH KELOMPOK YANG BERADA DI SMK NEGERI 1 TASIKMALAYA YANG BERANGGOTAKAN 5 ANGGOTA TETAP DAN 1 ANGGOTA TIDAK TETAP..
KOLOMPOK INI LEBIH TERKENAL DENGAN SEBUTAN BARUDAK NARUTO KARENA 4 ORANG DI DALAMNYA SANGAT MENCINTAI ANIME, MANGA, DORAMA DAN TOKUSATSU ...MESKIPUN MEREKA SUKA PADA KEBUDAYAAN ORANG LAIN, ,MEREKA TIDAK PERNAH MELUPAKAN JATI DIRINYA SEBAGAI WARGA NEGARA INDONESIA, CONTOH SAYA SENDIRI CINTAAAA SEKALI PADA WAYANG GOLEK , DEGUNG, CERITA-CERITA LEGENDA DLL,,,
ADAPUN ANGGOTA YANG JUGA BIASA DISEBUT RAKYAT JELATA INI ADALAH :
AGITO ( VOKALIST )
NEKOZAWA ( GUITARIST )
OZORA ( BASSIS )
ECHIZEN ( KEYBOARD )
MEITA ( DRUMMER )
ITULAH ANGGOTA PARARAKYAT JELATA YANG SELALU SADAR DIRI...
FU FU FU
FU FU FU
FU FU FU
KOLOMPOK INI LEBIH TERKENAL DENGAN SEBUTAN BARUDAK NARUTO KARENA 4 ORANG DI DALAMNYA SANGAT MENCINTAI ANIME, MANGA, DORAMA DAN TOKUSATSU ...MESKIPUN MEREKA SUKA PADA KEBUDAYAAN ORANG LAIN, ,MEREKA TIDAK PERNAH MELUPAKAN JATI DIRINYA SEBAGAI WARGA NEGARA INDONESIA, CONTOH SAYA SENDIRI CINTAAAA SEKALI PADA WAYANG GOLEK , DEGUNG, CERITA-CERITA LEGENDA DLL,,,
ADAPUN ANGGOTA YANG JUGA BIASA DISEBUT RAKYAT JELATA INI ADALAH :
AGITO ( VOKALIST )
NEKOZAWA ( GUITARIST )
OZORA ( BASSIS )
ECHIZEN ( KEYBOARD )
MEITA ( DRUMMER )
ITULAH ANGGOTA PARARAKYAT JELATA YANG SELALU SADAR DIRI...
FU FU FU
FU FU FU
FU FU FU
Subscribe to:
Posts (Atom)